Sabtu, 30 Agustus 2008

Sulitnya Memahami Kebijakan Pemerintah.

Mungkin karena pengetahuan saya yang dangkal, atau mungkin karena memang saya hanya kawulo alit seperti kebanyakan masyarakat lainnya-yang notabene tidak akan pernah tahu permasalahan sebenarnya- begitu susah rasanya mengerti dan memahami kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap masyarakat.

Kita sedang mengalami krisis energi katanya, sehingga segenap lapisan diharapkan untuk melakukan penghematan energi. Minyak yang dulunya diagung-agungkan sebagai kekayaan bangsa tak luput dari imbas persoalan krisis ini. Harga minyak dunia melambung jauh di atas prediksi pemerintah, sehingga mengakibatkan beban subsidi pemerintah terhadap minyak semakin membengkak. Untuk mengurangi membengkaknya subsidi terhadap minyak, masyarakat (termasuk ibu saya di rumah yang sehari-hari menggunakan minyak tanah) diharapkan dapat merubah kebiasaan dan mengurangi konsumsi minyak. Konversi penggunaan minyak tanahpun dikampanyekan oleh pemerintah. Pertamina (BUMN yang selalu mengaku mengalami kerugian) menjadi corong pemerintah sekaligus menjadi aktor utama program konversi ini. Gas dipilih untuk menjadi pengganti minyak tanah bagi masyarakat. Pertamina melalui para rekan bisnisnya memproduksi tabung mini 3 kg, sehingga diharapkan harga gas dapat dijangkau oleh lapisan bawah masyarakat.

Mungkin belum genap dua tahun, telah banyak masyarakat yang beralih dari pengguna minyak tanah menjadi pengguna gas. Namun apa lacur, kini muncul lagi permasalahan baru. Masyarakat yang sudah diracuni sehingga menjadi bergantung kepada pasokan gas dari Pertamina, seolah tak pernah lepas dari permasalahan gas ini. Suplai tersendat-sendat, harga melonjak, sampai antrian panjang sering kali menjadi berita koran di berbagai daerah.
Masih lebih bertanggung jawab pengusaha rokok (yang belakangan ini diusulkan untuk menjadi produk haram oleh beberapa kelompok), walaupun sudah meracuni saya dan segenap organ tubuh saya, namun dengan begitu mudah saya mendapatkannya apabila saya membutuhkan, dengan banyak alternatif harga dan pilihan produk (terima kasih GG).

"Kami mohon maaf karena kemarin itu ada kenaikan untuk elpiji," tutur pejabat Pertamina mengenai kenaikan harga elpiji pada bulan agustus (Pertamina Janji Tak Naikkan Harga Elpiji Selama Puasa, Detik Finance, Jum'at 29/08/2008)*.
"Ah.....kami maafkan pak/bu, mungkin hanya itu yang bisa kami lakukan, kalian yang punya semuanya, kami memang harus manut" rasanya hanya jawaban ini yang bisa saya berikan terhadap pernyataan di atas. Begitu ringannya pernyataan pejabat tersebut, mohon maaf........?? Berapa banyak permohonan-permohonan maaf lain yang akan terucap? kita tidak akan pernah tahu.

"Pokoknya elpiji saat ini itu stoknya tidak kurang, kalau kurang, itu stoknya dimainkan oleh penjual,"(*).
Oke..cukup...sudah cukup, sekarang anda sudah aman, berarti nanti kami akan menyalahkan penjual kalau sampai stok elpiji kurang atau bahkan hilang dari pasaran, anda tidak usah khawatir lagi, sekarang silahkan anda beristirahat dengan tenang, kami tidak akan mengganggu tidur siang anda.

Hahaha...sebuah dagelan!"pokoknya saya tidak mau disalahkan!" itulah inti dari pernyataan pejabat tersebut, yang mungkin tidak mempunyai cukup keberanian untuk berbahasa secara tegas.

Saya mungkin tidak akan mampu memikirkan mekanisme yang baik bagi panyaluran gas elpiji hingga sampai ketangan masyarakat yang membutuhkan, namun bukankah di atas sana banyak orang-orang pintar yang duduk dan dibayar mahal oleh rakyat untuk memikirkan persoalan ini?
Apakah dulu sebelum konversi minyak tanah ini dilakukan, tidak ada riset yang mendahului? sehingga pemerintah (untuk urusan ini Pertamina) benar-benar tidak bisa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang patut diwaspadai apabila masyarakat telah beralih ke penggunaan gas sekaligus mempersiapkan solusinya apabila kemungkinan itu terjadi? Atau mungkin Pertamina lebih memilih untuk memikirkan keuntungan-keuntungan yang akan didapat akibat konversi ini?Wallahu alam? tidak!....saya yakin bahwa selain Tuhan, pasti ada pejabat yang tahu jawaban pertanyaan terakhir tadi.

Mungkin karena mereka yang diberi tugas untuk berpikir tidak pernah merasakan antrian panjang untuk mendapatkan elpiji, tidak pernah kesulitan untuk membeli elpiji seharga berapapun (karena operasional rumah tangganya ditanggung negara), akibatnya mereka tidak pernah benar-benar berpikir serius untuk mencari solusi dari persoalan ini?

Apakah saya tahu jawabannya? tidak juga! karena untuk memahami saja saya tidak akan pernah mampu.